Senin, 24 Oktober 2011

Profesional MBS


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu faktor terpenting dalam meningkatkan SDM yang akan menopang gerak pembangunan. Dalam era reformasi yang ditandai oleh pemberlakuan otonomi daearah landaskan Undang-Undang nomor 2 tahun 1999 serta Undang-undang nomor 25 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah memiliki dampak logis pada kewenangan daerah yang semakin otonom, termasuk di dalamnya menyangkut bidang pendidikan. Semenjak otonomi daerah, pendidikan yang awalnya  dikelola oleh pusat (sentralisasi) dikembalikan kepada daerah (desentralisasi).
Dengan kebijakan ekonomi makro, memberikan imbas terhadap otonomi sekolah sebagai sub sistem pendidikan nasional, mengharuskan pemerintah melakukan rekonstruksi kebijakan dalam upaya mengontrol peningkatan mutu, efisiensi dan relevansi pendidikan serta pemerataan pelayanan pendidikan, upaya-upaya diatas tercermin dalam tindakan berikut: pertama, upaya peningkatan mutu dilakukan dengan menetapkan tujuan dan standar pendidikan, yaitu melalui konsensus nasional. Standar kompetensi memungkinkan adanya perbedaan antar daerah yang akan menghasilkan standar kompetensi nasional dalam tingkatan standar minimal, normal dan unggulan. Kedua, peningkatan efisiensi pengelolan pendidikan mengarah pada pengelolaan pendidikan yang berbasis sekolah dengan memberikan ruang dan kepercayaan yang lebih luas kepada sekolah untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada. Ketiga, peningkatan relevansi pendidikan mengarah pada pendidikan bebasis masyarakat serta orang tua dalam level kebijakan dan level operasional melalui komite (dewan) sekolah. Keempat, pemerataan pelayanan pendidikan mengarah pada pendidikan yang berkeadilan berkenaan dengan pengelolaan biaya pendidikan yang adil dan transparan.
Pendidikan merupakan investasi yang akan menghasilkan manusia-manusia yang memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dibutuhkan dalam pembangunan suatu bangsa. Manfaat (benefit) individu, sosial atau institusional akan diperoleh secara bervariasi. Akan tetapi, manfaat individual tidak akan diperoleh secara cepat (quick yielding), akan tetapi membutuhkan waktu yang cukup lama, bahkan bisa satu generasi.
Organisasi pendidikan sebagai lembaga yang bukan saja besar secara fisik, tetapi juga mengemban misi yang besar dan mulia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tentunya dibutuhkan manajemen yang professional dalam penyelenggaraannya. Manajemen pendidikan adalah suatu penataan bidang garapan pendidikan yang dilakukan melalui aktivitas perencanaan, pengorganisasian, penyusunan staf, pembinaan, pengkoordinasian, pengkomunikasian, pemotivasian, penganggaran, pengendalian, pengawasan, penilaian dan pelaporan secara sistematis untuk mencapai tujuan pendidikan secara berkualitas.
Manajemen Pendidikan adalah suatu proses kerjasama yang sistematik, sistemik dan komprehensif dalam rangka meraih tujuan pendidikan. Selain itu manajemen pendidikan juga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan manajemen, baik tujuan yang sifatnya jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Manajemen atau pengelolaan merupakan komponen integral (kesatuan) dan tidak dapat dipisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan, karena tanpa manajemen tidak mungkin tujuan pendidikan dapat terwujud secara optimal, efektif & efisien. Dalam kerangka ini akan lahir kesadaran akan arti pentingnya manajemen pendidikan yang memberikan kewenangan sekolah dan guru dalam mengatur pendidikan & pengajaran, merencanakan, mengorganisasi, mengawasi, mempertanggungjawabkan, mengatur, serta memimpin SDM untuk membantu pelaksanaan pembelajaran yang sesuai dengan tujuan sekolah.
Pemberian otonomi pendidikan yang luas pada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat, serta merupakan sebuah upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Otonomi menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan, sekaligus memberdayakan bebagai komponen masyarakat secara efektif, guna mendukung kemajuan sistem yang ada. Dalam kerangka inilah MBS tampil sebagai altenatif paradigma baru manajemen pendidikan yang ditawarkan kepada sekolah guna menentukan kebijakan secara mandiri, dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi dan pemerataan pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat serta menjalin kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah.
Tidak ada kata berhenti untuk sebuah proses dan tidak pula ada kata final untuk sebuah perubahan karena yang ada hanyalah proses menuju kesejatian ideal yang abstraktif yaitu bahwa kondisi ideal adalah sebuah abstraksi semata, sebuah sosok yang dituju, tetapi sifatnya hanya sebatas seakan-akan demikian, tidak ada dalam realitas.
Akhirnya para pakar manajemen pendidikan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa apapun bentuk dan bagaimanapun ragam pembaruan pendidikan tidak akan bermanfaat sedikitpun jika lembaga pendidikan tidak dikelola dengan format manajemen pendidikan yang efektif dan efisien.







BAB II
PEMBAHASAN
Konsep Manajemen
Manajemen dalam bahasa inggris diartikan sebagai to manage, yaitu mengatur atau mengelola. Dalam definisi  yang lebih khusus lagi, manajemen diartikan sebagai pemimpin atau kepemimpinan (manager), yaitu kegiatan yang dilakukan untuk mengelola lembaga atau organisasi, memimpin serta menjalankan kepemimpinan dalam organisasi, meliputi kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pemantauan, dan penggunaan sumber daya organisasi lain agar mencapai tujuan yang ditetapkan (James A.F. Stoner)
Manajemen sebagai suatu kemampuan atau keahlian yang selanjutnya menjadi cikal bakal manajemen sebagai suatu profesi. Manajemen sebagai suatu ilmu menekankan perhatian pada keterampilan dan kemampuan manajerial yang diklasifikasikan menjadi kemampuan/keterampilan teknikal, manusiawi dan konseptual. Manajemen sebagai proses yaitu dengan menetukan langkah yang sistematis dan terpadu sebagai aktivitas manajemen.
Dengan demikian manajemen merupakan kemampuan dan keterampilan khusus yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan suatu kegiatan baik secara perorangan ataupun bersama orang lain atau melalui orang lain dalam upaya mencapai tujuan organisasi secara produktif, efektif dan efisien.

Selain memiliki definisi yang beragam mengenai manajemen, para ahli juga mengemukakan fungsi-fungsi manajemen. Berikut adalah pendapat para ahli tentang fungsi-fungsi manajemen :
No
Nama ahli

Fungsi manajemen
1
Louis A Allen

Leading, planning, organizing, Controlling
2
Henry Fayol

Planning, organizing, commanding, coordinating, Controlling
3
Luther Gullich

Planning, organizing, staffing, Directing, coordinating, reporting, budgeting
4
Sondang P. Siagian

Planning, organizing, motivating, controlling
5
George R. Terry

Planning, organizing, Actualing, controlling
6
John D. Millet

Directing, facilitating
7
Kontz & O’ Donnel

Staffing, organizing, Directing, controlling, planning





Profesionalisme
Dalam wikipedia, pengertian profesional adalah seseorang yang menawarkan jasa atau layanan sesuai dengan protokol dan peraturan dalam bidang yang dijalaninya dan menerima gaji sebagai upah atas jasanya. Orang tersebut juga merupakan anggota suatu entitas atau organisasi yang didirikan seusai dengan hukum di sebuah negara atau wilayah.
Sebutan “Profesionalisme” itu sendiri berasal dari kata “profesi”. Jadi, berbicara tentang profesionalisme tentu mengacu pada pengertian profesi, sebagai suatu bidang pekerjaan. Dalam hal profesi tiy, Mc Cully (1969) (dalam Rusyan, 1990 : 4) mengatakan sebagai :
Vocation an which professional knowledge of some department a learning science is used in its application to the other or in the practice of an art found it.
Dari pengertian itu dapat disarikan bahwa dalam suatu pekerjaan yang bersifat professional dipergunakan teknik serta prosedur yang bertumpu pada landasan intelektual, yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian secara langsung dapat diabadikan bagi kemaslahatan orang lain. Faktor penting dalam hal ini adalah intelektualitas yang di dalamnya tercakup satu atau beberapa keahlian kerja yang dianggap mampu menjamin proses pekerjaan dan hasil kerja yang professional, atau tercapainya nilai-nilai tertentu yang dianggap ideal menurut pihak yang menikmatinya.
Soedijarto (1990:57) mendefinisikan profesionalisme sebagai perangkat atribut-atribut yang diperlukan guna menunjang suatu tugas agar sesuai dengan standar kerja yang diinginkan. Dari pendapat ini, sebutan standar kerja merupakan faktor pengukuran atas bekerjanya seorang atau kelompok orang dalam melaksanakan tugas.
Sementara itu Philips (1991:43) memberikan definisi profesionalisme sebagai individu yang bekerja sesuai dengan standar moral dan etika yang ditentukan oleh pekerjaan tersebut.
Menurut Muchtar Luthfi dari Universitas Riau seseorang disebut memiliki profesi bila ia memenuhi kriteria berikut ini
1.    Profesi harus mengandung keahlian. Artinya suatu profesi itu mesti ditandai oleh suatu keahlian yang khusus untuk profesi itu. Keahlian itu diperoleh dengan cara mempelajarinya secara khusus (profesi bukan diwarisi)
2.    Profesi dipilih karena panggilan hidup dan dijalani sepenuh waktu. Profesi dipilih karena dirasakan sebagai kewajiban
3.    Profesi memiliki teori-teori yang baku secara universal. Artinya profesi dijalani menurut aturan yang jelas, dikenal umum, teorinya terbuka. Secara universal pegangannya itu diakui
4.    Profesi adalah untuk masyarakat, bukan untuk diri sendiri
5.    Profesi harus dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikasi. Kecakapan dan kompetensi itu diperlukan untuk meyakinkan peran profesi terhadap kliennya
6.    Pemegang profesi memiliki otonomi dalam melakukan tugas profesinya. Otonomi ini hanya dapat diuji atau dinilai oleh rekan-rekan seprofesinya
7.    Profesi mempunyai kode etik, disebut kode etik profesi
8.    Profesi harus mempunyak klien yang jelas, yaitu orang yang membutuhkan layanan
9.    Suatu profesi memerlukan organisasi yang kuat; gunanya untuk memperkuat dan mempertajam profesi itu
10. Suatu profesi harus mengenali dengan jelas hubungannya dengan profesi lain. Pengenalan ini terutama diperlukan karena ada kalanya suatu garapan melibatkan lebih dari satu profesi.
Kira-kira ada 10 kriteria bagi suatu profesi untuk dapat disebut sebagai suatu bidang profesi. Berikut ini setiap kriteria itu dibicarakan lebih luas.
Pertama, profesi harus memiliki suatu keahlian yang khusus. Keahlian itu tidak dimiliki oleh profesi lain. Mengapa tidak semua bidang profesi mengandung keahlian yang tegas, ada juga bidang keahlian yang sedikit-sedikit diketahui oleh orang yang tidak memegang keahlian itu. Keahlian ekonomi, misalnya, dapat juga diketahui sedikit-sedikit oleh ahli hukum, dapat juga dikenali sedikit-sedikit oleh ahli politik, dan sebagainya. Tetapi, bila suatu bidang pekerjaan hampir setiap orang mengetahuinya sehingga sulit diketahui siapa pemegang keahlian itu, mungkin saja bidang itu bukan bidang profesi karena ia tidak mengandung keahlian yang khusus.
Keahlian diperoleh dengan cara mempelajarinya secara khusus. Keahlian kedokteran diperoleh dengan cara mempelajarinya secara khusus di fakultas kedokteran; keahlian dalam profesi sastra diperoleh dengan cara mempelajarinya di fakultas sastra. Keahlian bukan diperoleh dari pewarisan. Sulit juga suatu keahlian diperoleh dengan cara mempelajarinya sembarangan, misalnya dengan cara mengintip orang yang sedang belajar, atau membaca sedikit-sedikit, atau melihat-lihat hasil penelitian yang dilakukan oleh orang lain. Keahlian diperoleh dengan cara mempelajarinya secara khusus
Kedua, profesi harus diambil sebagai pemenuhan panggilan hidup. Oleh karena itu, profesi dikerjakan sepenuh waktu. Sebagai panggilan hidup artinya profesi itu dipilih karena dirasakan itulah panggilan hidupnya, artinya itulah lapangannya. Profesi dipilihnya bukan karena panggilan uang, bukan karena panggilan kedudukan, bukan pula karena terbawa-bawa oleh orang lain. Jadi, ada suatu kesungguhan dalam memilih profesi
Dilakukan sepenuh waktu maksudnya profesi itu dijalani dalam rangka yang panjang bahkan seumur hidup. Jadi, bukan dilakukan secara part-time, melainkan full time; bukan dilakukan sebagai pekerjaan sambilan atau pekerjaan sementara yang akan ditinggalkan bila ditemukan pekerjaan lain yang dirasakan lebih menguntungkan
Sesorang dapat saja pindah dari suatu profesi ke profesi lain. Akan tetapi, hal ini akan memerlukan suatu kerja keras yang luar biasa karena untuk mencapai tingkat ahli bukan pekerjaan yang mudah. Pindah keahlian mungkin terjadi pada jenis-jenis keahlian sederhana. Misalnya dari profesi penambal ban kepada profesi mengelas. Itu pun cukup sulit bila seseorang ingin benar-benar ahli dalam bidang itu
Biasanya memilih suatu bidang profesi dipengaruhi oleh banyak hal, yang terpenting ialah pandangan. Contoh yang paling jelas iala pemilihan profesi kependetaan; profesi ini jelas dipilih karena pandangan hidup. Jadi, bila anda bertemu sesorang, tahun 1960 ia menjadi guru agama, bertemu lagi tahun 1970 ia menjadi pedagang keliling, bertemu lagi tahun 1980 ternyata mengajarkan seni baca Qur’an, orang itu sulit disebut memiliki profesi, apalagi tatkala anda bertemu pada tahun 1990 ia telah menjadi guru silat tenaga dalam, dan ketika itu ia telah mulai tua
Ketiga, profesi memiliki teori-teori yang baku secara universal. Artinya profesi itu dijalani menurut teori-teori. Teori itu harus baku, maksudnya teori bukan teori sementara. Bila orang mengatakan ia memiliki profesi yang seluruh teorinya bersifat sementara, maka kita dapat mengatakan bahwa profesi orang itu belim memenuhi syarat untuk disebut profesi. Dengan demikian, berarti juga bahwa teori sementara, yaitu belum dibakukan tidak dapat digunakan oleh pemegang profesi. Teori sementara itu harus lolos dulu beberapa uji coba eksperimen. Jika teori itu teori filsafat, maka ia harus lolos dalam berbagai pengujian logis. Teori itu harus dikenal secara umum, artinya dikenal oleh semua pemegang profesi itu dimanapun ia berada. Inilah yang dimaksud dengan universal itu
Berdasarkan pendapat diatas, terdapat sejumlah faktor dominan dalam mempersoalkan profesionalisme dikalangan pegawai. Pertama, kapasitas intelektual pegawai yang relevan dengan jenis dan sifat pekerjaannya. Kapasitas intelektual ini tentu berhubungan dengan jenis dan tingkat pendidikan yang menjadi karakteristik pengetahuan dan keahlian seseorang dalam bekerja. Kedua, standar kerja yang sekurang-kurangnya mencakup prosedur, tata cara dan hasil akhir pekerjaan. Ketiga, standar moral dan etika dalam melaksanakan pekerjaan tersebut. Hal ketiga inilah yang sulit dirumuskan dan dinyatakan secara utuh, karena proses aktualisasinya tidak hanya ditentukan oleh sifat dan watak seseorang, tetapi ditentukan juga oleh system nilai yang berlaku dalam suatu lingkungan kerja.
Konsep Manajemen Pendidikan.
            Setelah membahas mengenai konsep umum manajemen, pembahasan berikutnya adalah manajemen dalam konteks pendidikan, sebagai lembaga yang bergerak dalam proses pembinaan, proses transformasi ilmu pengetahuan atau sering disebut dengan proses belajar mengajar.
            Manajemen pendidikan yang dimaksudkan disini adalah lembaga atau organisasi yang bergerak dalam kegiatan mendidik sekelompok atau sejumlah siswa, yang dalam pelaksanaannya terdapat semua unsur manajemen. Dalam organisasi terdapat individu-individu yang menjadi anggota organisasi dan memiliki unsur-unsur sistemik manajerial serta sistem pengelolaan lembaga. Khususnya didalam lembaga pendidikan, anggota administrasi adalah terdapat para pendidik dengan berbagai jabatan struktural dan fungsionalnya seperti Kepala sekolah, guru, karyawan dan lain-lain.
            Keberhasilan suatu lembaga pendidikan berhubungan dengan manajemen yang ditetapkan, sebagai pemaknaan yang universal dari seni dan ilmu dalam melaksanakan fungsi perencanaan, pengendalian, pengawasan, personalia, dan profesionalitas. Dengan demikian makna manajemen pendidikan adalah proses terus menerus yang dilakukan oleh organisasi pendidikan melalui fungsionalisasi unsur-unsur manajemen tersebut, yang didalamnya terdapat upaya saling memengaruhi, mengarahkan, dan saling mengawasi sehingga seluruh aktifitas dan kinerja organisasi pendidikan dapat  tercapai sesuai dengan tujuan.
            Fungsi manajerial yang terdapat dalam proses kegiatan pendidikan antara lain adalah :
1.    Fungsi edukatif, artinya mendidik dengan tujuan memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik agar terbebas dari ketidaktahuan dan kebodohan.
2.    Fungsi pengembangan kedewasaan berfikir melalui proses transmisi ilmu pengetahuan
3.    Fungsi penguatan keyakinan terhadap kebenaran yang diyakini dengan pemahaman ilmiah
4.    Fungsi religius, sebagai bagian dari pengabdian hamba kepada Sang Pencipta yang telah menganugerahkan kesempurnaan jasmani dan rohani kepada manusia. Fungsi yang diatur oleh agama, yang diajarkan oleh setiap agama guna membebaskan diri dari kebodohan.
Hakikat manajemen pendidikan terletak pada pengelolaan kependidikan, yaitu pengelolaan lembaga pendidikan yang merupakan sistem. Oleh karena itu, secara keseluruhan yang harus dikelola adalah :
1.    Kinerja para pegawai lembaga pendidikan
2.    Pengadministrasian kegiatan pendidikan
3.    Aktivitas pendidik yang merupakan tugas dan kewajibannya
4.    Kurikulum sebagai konsep dan tujuan pendidikan
5.    Sistem pembelajaran dan metode belajar mengajar
6.    Pengawasan dan supervisi pendidikan
7.    Pembiayaan pelaksanaan pendidikan dari segi fasilitas, alat-alat, sarana dan prasarana pendidikan.
        Manajemen pendidikan artinya pengelolaan terhadap semua kebutuhan institusional dalam pendidikan secara efektif dan efisien. Manajemen pendidikan sebagai salah satu komponen dari sistem yang subsistemnya saling berkaitan satu sama lain melalui berbagai aktifitas untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan dalam pendidikan.
Paradigma Baru Manajemen Pendidikan
Paradigma baru manajemen pendidikan harus sejalan dengan semangat Undang-Undang Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Undang-Undang Sisdiknas), Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD), UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbanagn Keuangan Antara Pusat dan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemerintah dan Propinsi Sebagai Daerah Otonomi.
Nurhadi (1999) mengungkapkan sedikitnya terdapat tiga dasar pemikiran yang melandasi UU Nomor 22 sebagai berikut :
·         Dalam rangka memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.
·         Penyelenggaraan otonomi daerah diharapkan dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta kemandirian, menjaga keserasian hubungan pusat dan daerah serta meningkatkan peran dan fungsi legislatif.
·         Semua itu dimaksudkan guna menghadapi tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan luas, nyata dan bertanggung jawab secara profesional.
Undang-Undang Pemerintah Daerah 1999 mengemukakan tiga struktur pemerintah daerah yaitu :
·         Pemerintah pusat atau pemerintah.
·         Daerah otonomi yang terdiri dari daerah propinsi sebagai daerah otonomi dan wilayah administrasi dan.
·         Daerah kabupaten/ kota yang masing-masing berdiri sendiri.
Dalam pelaksanaannya baik dari segi kewenangan maupun sumber dana pendidikan, pemerintah daerah kabupaten dan kota akan memegang layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan, lebih cepat, lebih efisien dan efektif serta dapat menegakkan aparat yang bersih dan berwibawa.
Terdapat enam permasalahan yang harus diantisipasi pada paradigma baru manajemen pendidikan dalam konteks otonomi daerah, yakni kepentingan nasional, mutu pendidikan efisiensi pengelolaan, perluasan dan pemerataan, peran serta masyarakat dan akuntabilitas.
Dalam paradigma baru manajemen pendidikan, melukiskan fungsi-fungsi pendidikan yang didesentralisasikan ke sekolah sebagai berikut :
·         Perencanaan dan Evaluasi. Sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya misalnya untuk meningkatkan mutu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan.Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri yang harus dilakukan secara jujur, adil dan transparan.
·         Kurikulum.          Daerah dan sekolah juga diberikan kebebasan untuk mengembangkan silabus mata pelajaran ketrampilan pilihan, yang merupakan unggulan daerah muatan lokal.
·         Pembelajaran. Pembelajaran utama sekolah pelaksanaannya memilih strategi, pendekatan, metode dan teknik pembelajaran yang paling efektif sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, peserta didik, guru serta kondisi nyata.
·         Ketenagaan. Pengelolaan ketenagaann mulai dari analisis  kebutuhan, perencanaan, rekrutmen, pengembangan, hadiah dan sangsi, hubungan kerja, sampai evaluasi kinerja tenaga kependidikan.
·         Fasilitas. Pengelolaan fasilitas yang mencakup pengelolaan, pemeliharaan, perbaikan dan pengembangan merupakan kewenangan sekolah.
·         Keuangan. Pengelolan keuangan terutama pengalokasian dan penggunaan uang dilakukan oleh sekolah dibawah pimpinan dan koordinasi kepala sekolah.
·         Kepesertadidikan (Peserta Didik).  Pengelolaan kepesertadidikan, mulai dari penerimaan pengembangan, pembinaan, pembimbing, penempatan untuk melanjutkan sekolah.
·         Hubungan Sekolah Dengan Masyarakat. Dalam alam demokratis masyarakat merupakan patner sekolah dalam melaksanakan pendidikan dan pembelajaran.
·         Iklim Sekolah. Iklim sekolah yang kondusif-akademik baik fisik maupun nonfisik merupakan landasan bagi penyelenggaraan pembelajaran yang efektif dan produktif.

Upaya meningkatkan dan mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tanggung jawab pendidikan, terutama mempersiapkan peserta didik menjadi subyek yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, tangguh, kreatif, mandiri, demokratis dan profesional pada bidangnya masing-masing.
Dalam kaitan ini visi, misi dan strategi Dinas Pendidikan Nasional pada tingkat kabupaten dan kota harus dapat mempertimbangkan dengan bijaksana kondisi nyata sekolah dan masyarakat. Untuk kepentingan tersebut diperlukan paradiguna baru manajemen pendidikan.

Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah
MBS adalah suatu ide tentang pengambilan keputusan yang diletakkan pada posisi yang paling dekat dengan pembelajaran, yakni sekolah. MBS merupakan salah satu wujud reformasi pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah untuk mengatur kehidupan sesuai dengan potensi, tuntutan dan kebutuhannya.
Dalam sistem MBS semua kebijakan dan program sekolah ditetapkan oleh komite sekolah dan dewan pendidik.

Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah
Karakteristik MBS bisa diketahui antara lain bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerjanya, proses pembelajaran, pengajaran sumber belajar, profesionalisme tenaga kependidikan, serta sistem administrasi secara keseluruhan. MBS adalah pemberian otonomi yang luas keapada sekolah partisipasi masyarakat dan orangtua.
  • Pemberian otonomi luas kepada sekolah. MBS memberi otonomi luas kepada sekolah sebagai lembaga pendidikan dan lebih memberdayakan tenaga kependidikan guru agar lebih berkonsentrasi pada tugas utamanya mengajar.
  • Partisipasi Masyarakat dan Orang Tua. Program-program sekolah didukung oleh partisipasi masyarakat dan orangtua peserta didik yang tinggi melalui bantuan keuangan, tetapi melalui komite sekolah dan dewan pendidik.
  • Kepemimpinan Yang Demokratis dan Profesional. Kepala sekolah adalah manajer pendidikan profesional yang direkrut oleh komite sekolah untuk mengelolah segala kegiatan sekolah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan.
  • Team Work Yang Kompak dan Transparan. Dalam MBS keberhasilan program-program sekolah didukung oleh kinerja team work yang kompak dan transparan dari berbagai pihak yang terlibat dalam pendidikan sekolah. Empat faktor penting yang perlu diperhatikan dalam implementasi MBS, yakni kekuasaan, pengetahuan dan ketrampilan, sistem informasi serta penghargaan.
·         Kekuasaan Yang Dimiliki Sekolah. Besarnya kekuasaan sekolah tergantung bagaimana MPS dapat diimplementasikan pemberian kekuasaan secara utuh sepeti dituntut MBS tidak mungkin dilaksanakan sekaligus, tetapi memerlukan proses transisi dari manajemen terpusat.
·         Pengetahuan dan Ketrampilan. Sekolah warga sekolah perlu memiliki pengetahuan untuk meningkatkan prestasi, memahami dan melaksanakan berbagai teknik, untuk itu sekolah harus memiliki sistem pengembangan sumber daya manusia.
·         Sistem Informasi Yang Jelas. Informasi yang jelas untuk monitoring, evaluasi dan akuntabilitas sekolah, informasi yang amat penting untuk dimiliki sekolah antara lain berkaitan dengan kemampuan guru, peserta didik serta visi dan misi sekolah.
·         Sistem Penghargaan. Sekolah yang melaksanakan MBS perlu menyusun sistem penghargaan bagi warganya yang berprestasi, untuk mendorong karirnya. Oleh karena itu sistem penghargaan yang dikembangkan harus bersifat proporsional, adil dan transparan.


Implementasi MBS di Indonesia
Untuk mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah secara efektif dan efisien, kepala sekolah perlu memiliki pengetahuan kepemimpinan, perencanaan dan pandangan yang luas tentang sekolah dan pendidikan.
Dengan memperhatikan iklim sekolah yang kondusif, otonomi sekolah, kewajiban sekolah, kepemimpinan kepala sekolah yang demokratis dan profesional, serta partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik dalam dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan pengawasan pendidikan disekolah.
·         Pelaksanaan MBS perlu didukung oleh iklim yang kondusif bagi terciptanya suasana yang aman, nyaman dan tertib. Sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dengan tenang dan menyenangkan.
·         Otonomi Sekolah. Dalam MBS kebijakan pengembangan kurikulum dan pembelajaran beserta sistem evaluasinya harus didesentralisasikan ke sekolah agar sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan masyarakat secara lebih fleksibel.
·         Kewajiban Sekolah. Manajemen berbasis sekolah menawarkan keleluasaan pengelolaan sekolah memiliki potensi yang besar dalam menciptakan kepala sekolah, guru dan pengelola sistem pendidikan profesioal. Dengan demikian sekolah dituntut mampu menampilkan pengelolaan sumberdaya secara transparan, demokratis tanpa memonopoli dan bertanggung jawab baik terhadap masyarakat maupun pemerintah.
·         Kepemimpinan Kepala Sekolah Yang Demokratis Dan Profesional. Pelaksanaan MBS menuntut kepemimpinan kepala sekolah profesional yang memiliki kemampuan manajerial dan integritas pribadi untuk mewujudkan visi menjadi aksi serta demokratis dan transparan dalam berbagai pengambilan keputusan. Dalam implementasi MBS kepala sekolah harus mampu sebagai indikator, manajer, administratior, supervisor, inovator dan motivator pendidikan (Emaslim).
·         Partisipasi Aktif Masyarakat dan Orang Tua. MBS menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas untuk membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan otoritas daerah setempat serta mengefisienkan sistem dan mengendurkan birokrasi yang tumpang tindih.
Pada kenyataan sekolah dewasa ini partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan pelaksanaan program sekolah masih relatif rendah. Demikian halnya partisipasi orang tua peserta didik masih terbatas pada pemberian bantuan finansial untuk mendukung kegiatan-kegiatan operasional sekolah.
Dalam implementasi MBS keterlibatan aktif berbagai kelompok masyarakat dan pihak orang tua dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan program-program pendidikan di sekolah merupakan sesuatu yang sangat diperlukan.
Manajemen Profesional dalam MBS
              Secara teoritis tujuan MBS adalah perbaikan kinerja sekolah yang selama ini dinilai terlalu konservatif. Dengan perbaikan kinerja sekolah, diharapkan mutu hasil belajar siswa dapat meningkat, karena memang peningkatan hasil belajar ini adalah inti tujuan MBS. Menurut Priscillia Wohlstetter, Roxane Smyer dan Susan Alberts Mohrman (1994), ‘’ A means end relationship between governance and school improvement is difficult to argue in the absence of some kind of instructional guidance mechanism that sets forth the direction of change with regard to curriculum and instruction the technical core of schooling .’’ Menurut mereka, jika salah satu tujuan reformasi manajemen sekolah adalah mengkreasi kinerja sekolah hingga taraf tinggi (create High Performance School), pertanyaan kunci yang terkait dengan MBS adalah dapatkah MBS ketika dikombinasikan dengan upaya reformasi kurikulum dan pembelajaran akan mendongkrak kinerja proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah ?
              MBS dinilai sebagai sebuah pilihan tepat dalam strategi manajemen sekolah pada era desentralisasi pendidikan. Dengan MBS, sekolah akan menjadi unit yang relatif otonom untuk menentukan langkah yang dikehendaki pada masa yang akan datang. Meski sekolah-sekolah dikelola dengan format MBS, tidak berarti kemudian lembaga itu otonom secara total. Tidak pula berarti bahwa pemerintah makin leluasa berlepas tangan untuk mendukung biaya pendidikan pada satu sisi dan membebani pembiayaan kepada masyarakat di sisi lain. Prinsip keseimbangan antara otonomi dan pengarahan dari instansi di atasnya tetap menjadi keharusan.
MBS menuntut perubahan-perubahan tingkah laku kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi dalam mengoperasikan sekolah. Pelaksanaan MBS berpotensi mening­katkan gesekan peranan yang bersifat profesional dan manajerial. Untuk memenuhi persyaratan pelaksanaan MBS, kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi harus memiliki kedua sifat tersebut, yaitu profesional dan manajerial. Mereka harus memiliki penge­tahuan yang dalam tentang peserta didik dan prinsip-prinsip pen­didikan untuk menjamin bahwa segala keputusan penting yang dibuat oleh sekolah, didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan pendidikan.
Kepala sekolah khususnya, perlu mempelajari dengan teliti, baik kebijakan dan prioritas pemerintah maupun prioritas sekolah sendiri. Untuk kepentingan tersebut, kepala sekolah harus :
a.    Memiliki kemampuan untuk berkolaborasi dengan guru dan masyarakat sekitar sekolah;
b.    Memiliki pemahaman dan wawasan yang luas tentang teori pendidikan dan pembelajaran;
c.    Memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menganalisis situasi sekarang berdasarkan apa yang seharusnya serta mampu memperkirakan kejadian di masa depan berdasarkan situasi sekarang;
d.    Memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah dan kebutuhan yang berkaitan dengan efektivitas pendidikan di sekolah;
e.    Mampu memanfaatkan berbagai peluang, menjadikan tantangan sebagai peluang, serta mengkonseptualkan arah baru untuk perubahan.

MBS merupakan konsep pember­dayaan sekolah dalam rangka peningkatan mutu dan kemandirian sekolah. Dengan MBS diharapkan para kepala sekolah, guru, dan personel lain di sekolah serta masyarakat setempat dapat melak­sanakan pendidikan sesuai dengan kebutuhan, perkembangan zaman, karakteristik lingkungan dan tuntutan global.
Kindervatter (1979) memberikan batasan pemberdayaan sebagai peningkatan pemahaman manusia untuk meningkatkan kedu­dukannya di masyarakat. Peningkatan kedudukan itu meliputi kondisi-kondisi sebagai berikut :
·         Akses, memiliki peluang yang cukup besar untuk mendapatkan sumber sumber daya dan sumber dana;
·         Daya pengungkit, meningkat dalam hal daya tawar kolektifnya; pilihan-pilihan, mampu dan memiliki peluang terhadap berbagai pilihan;
·         Status, meningkatnya citra diri, kepuasan diri, dan memiliki perasaan yang positif atas identitas budayanya;
·         Kemampuan refleksi kritis, menggunakan pengalaman untuk mengukur potensi keunggulannya atas berbagai peluang pilihan-pilihan dalam pemecahan masalah;
·         Legitimasi, ada pertimbangan ahli yang menjadi justifikasi atau yang membenarkan terhadap alasan-alasan rasional atas kebutuhan-kebutuhan masyarakat;
·         Disiplin, menetapkan sendiri stadar mutu untuk pekerjaan yang dilakukan untuk orang lain;
·         Persepsi kreatif, sebuah pandangan yang lebih positif dan inovatif terhadap hubungan dirinya dengan lingkungannya.
Cook dan Macaulay (1997) memberikan definisi pemberdayaan sebagai "alat penting untuk memperbaiki kinerja organisasi melalui penyebaran pembuatan keputusan dan tanggung jawab". Dengan demikian, akan mendorong keterlibatan para pegawai dalam peng­ambilan keputusan dan tanggung jawab. Dalam dunia pendidikan pemberdayaan ditujukan kepada para peserta didik, guru, kepala sekolah, dan pegawai administrasi.
Ciri proses pemberdayaan yang merupakan tahapan dasar dalam MBS meliputi :
ü  Community organization;
ü  Self-management and collaboration;
ü  Participatory approache
ü  Education for justice.
Manajemen kurikulum dan program pengajaran merupakan bagian dari MBS. Manajemen kurikulum dan program pengajaran menca­kup kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian kurikulum. Perencanaan dan pengembangan kurikulum nasional pada umumnya telah dilakukan oleh Departeman Pendidikan Nasional pada tingkat pusat. Sekolah juga bertugas dan berwewenang untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan setempat.
Adapun program mingguan atau program satuan pelajaran, wajib dikembangkan guru sebelum melakukan kegiatan belajar-mengajar. Berikut diperinci beberapa prinsip yang harus diperhatikan.
1.    Tujuan yang dikehendaki harus jelas, makin operasional tujuan, makin mudah terlihat dan makin tepat program-program yang dikembangkan untuk mencapai tujuan.
2.    Program itu harus sederhana dan fleksibel.
3.    Program-program yang disusun dan dikembangkan harus sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
4.    Program yang dikembangkan harus menyeluruh dan harus jelas pencapaiannya.
5.    Harus ada koordinasi antar komponen pelaksana program di sekolah.
Dalam pada itu, perlu dilakukan pembagian tugas guru, penyu­sunan kalender pendidikan dan jadwal pelajaran, pembagian waktu yang digunakan, penetapan pelaksanaan evaluasi belajar, pene­tapan penilaian, penetapan norma kenaikan kelas, pencatatan ke­majuan belajar peserta didik, serta peningkatan perbaikan peng­ajaran serta pengisian waktu jam kosong.
Keberhasilan MBS sangat ditentukan oleh keberhasilan pimpinan­nya dalam mengelola tenaga kependidikan yang tersedia di sekolah. Dalam hal ini, peningkatan produktivitas dan prestasi kerja dapat dilakukan dengan meningkatkan perilaku manusia di tempat kerja melalui aplikasi konsep dan teknik manajemen personalia modern.
Manajemen tenaga kependidikan atau manajemen personalia pendidikan bertujuan untuk mendayagunakan tenaga kependidikan secara efektif dan efisien untuk mencapai hasil yang optimal, namun tetap dalam kondisi yang menyenangkan. Sehubungan de­ngan itu, fungsi personalia yang harus dilaksanakan pimpinan, adalah menarik, mengembangkan, menggaji, dan memotivasi per­sonil guna mencapai tujuan sistem, membantu anggota mencapai posisi dan standar perilaku, memaksimalkan perkembangan karier tenaga kependidikan, serta menyelaraskan tujuan individu dan organisasi.
Manajemen tenaga kependidikan (guru dan personil) mencakup :
v  Perencanaan pegawai,
v  Pengadaan pegawai,
v  Pembinaan dan pengembangan pegawai,
v  Promosi dan mutasi,
v  Pember­hentian pegawai,
v  Kompensasi,
v  Penilaian pegawai.

Semua itu perlu dilakukan dengan baik dan benar agar apa yang diharap­kan tercapai, yakni tersedianya tenaga kependidikan yang diperlu­kan dengan kualifikasi dan kemampuan yang sesuai serta dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik dan berkualitas.
Manajemen kesiswaan adalah penataan dan pengaturan terhadap kegiatan yang berkaitan dengan peserta didik, mulai masuk sampai dengan ke­luarnya peserta didik tersebut dari suatu sekolah. Bertujuan untuk mengatur berbagai ke­giatan dalam bidang kesiswaan agar kegiatan pembelajaran di se­kolah dapat berjalan lancar, tertib dan teratur, serta mencapai tu­juan pendidikan sekolah. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, bidang manajemen kesiswaan sedikitnya memiliki tiga tugas utama yang harus diperhatikan, yaitu penerimaan murid baru, kegiatan kemajuan belajar, serta bimbingan dan pembinaan disiplin.
Berda­sarkan tiga tugas utama tersebut Sutisna (1985) menjabarkan tang­gung jawab kepala sekolah dalam mengelola bidang kesiswaan ber­kaitan dengan hal-hal berikut :
*      Kehadiran murid di sekolah;
*       Penerimaan, orientasi, klasifikasi, dan penunjukkan murid ke kelas dan program studi;
*       Evaluasi dan pelaporan kemajuan belajar;
*       Program supervisi bagi murid;
*       Pengendalian disiplin murid;
*       Program bimbingan dan penyuluhan;
*       Program kesehatan dan keamanan;
*       Penyesuaian pribadi, sosial, dan emosional.
Keberhasilan, kemajuan, dan prestasi belajar para siswa memerlukan data yang otentik, dapat dipercaya, dan memiliki keabsahan. Data ini diperlukan untuk mengetahui dan mengontrol keberhasilan atau prestasi kepala sekolah sebagai manajer pendidikan di sekolahnya. Kemajuan belajar siswa ini secara periodik harus dila­porkan kepada orang tua, sebagai masukan untuk berpartisipasi ialam proses pendidikan dan membimbing anaknya belajar, baik di rumah maupun di sekolah.
Keuangan dan pembiayaan merupakan salah satu sumber daya yang secara langsung menunjang efektivitas dan efisiensi pengelo­laan pendidikan. Hal tersebut lebih terasa lagi dalam implementasi MBS, yang menuntut kemampuan sekolah untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi serta mempertanggungjawabkan pengelolaan dana secara transparan kepada masyarakat dan pemerintah.
Sumber keuangan dan pembiayaan pada suatu sekolah secara garis besar dapat dikelompokkan atas tiga sumber, yaitu pemerintah, orang tua atau peserta didik dan masyarakat, baik mengikat maupun tidak mengikat. Dalam rangka implementasi MBS, mana­jemen komponen keuangan harus dilaksanakan dengan baik dan teliti mulai tahap penyusunan anggaran, penggunaan, sampai pengawasan dan pertanggungjawaban sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar semua dana sekolah benar-benar dimanfaatkan secara efektif, efisien, tidak ada kebocoran-kebocoran, serta bebas dari penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Dalam pelaksanaannya, manajemen keuangan ini menganut asas pemisahan tugas antara fungsi otorisator, ordonator dan bendaharawan. Otorisator adalah pejabat yang diberi wewenang untuk mengambil tindakan yang mengaki­batkan penerimaan dan pengeluaran anggaran. Ordonator adalah pejabat yang berwenang melakukan pengujian dan memerintahkan pembayaran atas segala tindakan yang dilakukan berdasarkan oto­risasi yang telah ditetapkan. Adapun bendaharawan adalah pejabat yang berwenang melakukan penerimaan, penyimpanan dan pengeluaran uang atau surat-surat berharga lainnya yang dapat dinilai dengan uang serta diwajibakan membuat perhitungan dan pertanggungjawaban.

Manajemen sarana dan prasarana yang baik diharapkan dapat menciptakan sekolah yang bersih, rapi, indah sehingga menciptakan kondisi yang menyenangkan baik bagi guru maupun murid untuk berada di sekolah. Di samping itu juga diharapkan tersedianya alat- alat atau fasilitas belajar yang memadai secara kuantitatif, kualitatif, dan relevan dengan kebutuhan serta dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan proses pendidikan dan pengajaran, baik oleh guru sebagai pengajar maupun murid-murid sebagai pelajar.
Hubungan sekolah dengan masyarakat pada hakikatnya merupakan suatu sarana yang sangat berperan dalam membina dan mengem­bangkan pertumbuhan pribadi peserta didik di sekolah. Dalam hal ini, sekolah sebagai sistem sosial merupakan bagian integral dari sistem sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat. Oleh karena itu, sekolah berkewajiban untuk memberi penerangan tentang tujuan-tujuan, program-program, kebutuhan, serta keadaan masyarakat. Sebaliknya, sekolah juga harus mengetahui dengan jelas apa kebutuhan, harapan, dan tuntutan masyarakat, terutama terhadap sekolah.
Hubungan sekolah dengan masyarakat bertujuan antara lain untuk :
Ø  Memajukan kualitas pembelajaran, dan pertumbuhan anak;
Ø  Memperkokoh tujuan serta meningkatkan kualitas hidup dan penghidupan masyarakat;
Ø  Menggairahkan masyarakat untuk menjalin hubungan dengan sekolah.

Manajemen layanan khusus meliputi manajemen perpustakaan, kesehatan, dan keamananan sekolah. Manajemen komponen-komponen tersebut merupakan bagian penting dari MBS yang efektif dan efisien. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berlangsung begitu pesat pada masa sekarang menyebabkan guru tidak bisa lagi melayani kebutuhan anak-anak akan informasi, dan guru-guru juga tidak bisa mengandalkan apa yang diperolehnya di bangku sekolah.
Dalam kaitannya dengan implementasi MBS yang profesional ini secara garis besar adalah sebuah konsep MBS yang dijalankan oleh sumberdaya yang profesional, terlatih, kompeten, berintegritas dan loyalitas yang tinggi dalam menjalankan setiap tugas di sekolah. MBS yang diisi dengan SDM yang profesional akan dapat mengukur sejauh mana pelaksanaan dan pencapaian yang telah mereka raih. Jika ditemukan sedikit masalah dalam pelaksanaannya, akan langsung teridentifikasi dan segera diberikan solusi terbaik, agar tujuan organisasi dapat tercapai sesuai dengan yang digariskan.
Idealnya, sebuah sistem MBS yang profesional akan sangat bermanfaat dan menjadi sebuah konsep yang paling dibutuhkan oleh dunia pendidikan kita. Karena MBS melibatkan semua pihak dalam pelaksanaan pendidikan, jadi rasanya tidak ada cela untuk mempertanyakan  ke efektifan konsep ini, selama dijalankan oleh orang-orang atau SDM yang telah disebutkan diatas.
MBS akan berjalan dengan baik jika setidaknya telah dijalankan secara profesional dalam delapan aspek pendidikan. Bukan hal yang mustahil ketika delapan aspek pendidikan yang telah diisi oleh SDM yang profesional akan menghasilkan MBS yang tidak lagi sekedar wacana. Akan tetapi dalam pelaksanaannya dibutuhkan niat baik dari semua pihak, baik penentu kebijakan, para pengawas, kepala sekolah, guru dan semua elemen masyarakat, sehingga berjalan harmonis dan menghasilkan mutu pendidikan yang dicita-citakan.













DAFTAR PUSTAKA

Mulyasa. E, 2004; Manajemen Berbasis Sekolah (Konsep, Strategi dan Implementasi), Bandung; Remaja Rosdakarya
Hanif I; Darsono, P, 2009; Sistem Pengendalian Manajemen ( Konsep dan Aplikasi ), Jakarta; Mitra Wacana Media
Sudarwan. D, 2008; Visi Baru Manajemen Sekolah ( Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik), Jakarta; Bumi Aksara
Hikmat, 2009; Manajemen Pendidikan, Bandung; Pustaka Setia
Abudin Nata, 2010; Manajemen Pendidikan ( Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia), Jakarta; Kencana
Husaini Usman, 2008, Manajemen ( Teori Praktek, dan Riset Manajemen ), Jakarta; Bumi Aksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar